Segala puji hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala shalawat dan salam semoga tetap tercurah atas nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
Amma ba’du;
Ini adalah syarah Qawaidul Arba’ yang dikarang oleh syaikul Islam Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Karena aku melihat tidak ada orang yang mensyarahnya, maka aku ingin mensyarahnya sesuai dengan kekuatan dan kemampuanku. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni kekuranganku didalamnya.
Berkata mu’allif (pengarang) rahimahullah :
Bismillahirrahmaanirrahim,
Aku meminta kepada Allah yang Maha Mulia, Rabbnya ‘arsy yang agung untuk melindungimu di dunia dan akherat serta menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada, juga menjadikanmu termasuk orang yang jika diberi bersyukur, jika mendapat ujian bersabar, serta jika berdosa beristighfar, maka sesungguhnya tiga hal itu adalah tanda-tanda kebahagiaan.
Aku meminta kepada Allah yang Maha Mulia, Rabbnya ‘arsy yang agung untuk melindungimu di dunia dan akherat serta menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada, juga menjadikanmu termasuk orang yang jika diberi bersyukur, jika mendapat ujian bersabar, serta jika berdosa beristighfar, maka sesungguhnya tiga hal itu adalah tanda-tanda kebahagiaan.
Ketahuilah! Semoga Allah menunjukimu untuk taat kepada-Nya. Sesungguhnya Hanifiyyah millah Ibrohim adalah kamu beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mengikhlaskan agama pada-Nya, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepadaKu.” (Adz Dzariyat : 56)
Maka jika kamu sudah mengetahui bahwa allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk beribadah kepadaNya, ketahuilah! Sesungguhnya ibadah itu tidak dinamakan ibadah, kecuali dengan tauhid, sebagaimana shalat itu tidak dinamakan shalat kecuali bersama thaharah (bersuci). Jika syirik masuk kedalam ibadah, maka rusaklah sebagaimana hadats apabila masuk kedalam thaharah.
Jika kamu telah tahu bahwa syirik apabila bercampur dengan ibadah, maka ia akan merusaknya dan akan menghapus amalan, serta menjadikan pelakunya termasuk orang yang kekal di neraka. Ketahuilah! Bahwa yang paling penting atasmu adalah mengetahui hal tersebut. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala melepaskanmu dari perangkap ini, yaitu syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan tentangnya:
“sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (an Nisaa’ : 48)
SYARAH:
Qawaidul arba’ yang dikarang oleh Syaikul Islam Muhammad bin Abdul wahhab rahimahullah ini adalah risalah yang tersendiri, akan tetapi dicetak bersama “Tsalasatul Ushul” karena kebutuhan risalah tersebut agar berada di tangan-tangan penuntut ilmu.
Qawaidul arba’ yang dikarang oleh Syaikul Islam Muhammad bin Abdul wahhab rahimahullah ini adalah risalah yang tersendiri, akan tetapi dicetak bersama “Tsalasatul Ushul” karena kebutuhan risalah tersebut agar berada di tangan-tangan penuntut ilmu.
Qawaid adalah bentuk jamak dari Qaidah. Sedangkan qaidah adalah pokok yang mempunyai cabang atau masalah yang banyak.
Kandungan empat kaidah yang disebutkan oleh Asy syaikh rahimahullah ini adalah mengenal tauhid dan syirik.
Apa kaidah didalam tauhid? Dan apa kaidah didalam syirik? Karena mayoritas manusia rusak dalam dua perkara ini, rusak dalam makna tauhid, apa itu (tauhid)? Dan mereka rusak dalammakna syirik, semua (orang) menafsirka keduanya sesuai dengan hawa nafsunya masing-masing.
Akan tetapi, yang wajib bagi kita adalah mengembalikan kaidah tersebut kepada al qur’an dan sunnah, agar kaidah ini menjadi kaidah yang benar dan selamat yang diambil dari kitab Allah subhanahu wa ta’ala dan sunnah Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam, terutama dalam dua perkara besar ini, yakni tauhid dan syirik.
Syaikh rahimahullah tidak menyebutkan kaidah ini dari diri atau pikirannya sendiri, sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh mayoritas orang-orang yang rusak, tetapi kaidah ini diambil dari Kitabullah, sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta sejarah beliau shallallahu’alaihi wa sallam.
Jika kamu telah mengetahui kaidah ini dan memahaminya, maka akan mudah bagimu setelah itu mengenal tauhid yang Allah subhanahu wa ta’ala mengutus dengannya para Rasul-Nya dan menurunkan dengannya kitab0kitab-Nya, serta mengenal syirik yang allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan darinya, juga menjelaskan bahaya dan kerugiannya didunia dan akherat. Ini adalah perkara yang sangat penting dan itu lebih wajib atasmu daripada mengetahui hukum-hukum shalat, zakat, dan ibadah-ibadah serta seluruh perkara duawiyah, karena hal ini adalah perkara yang paling utama dan mendasar. Sedangkan shalat, zakat, haji dan selainnya –dari perkara ibadah- tidaklah sah jika tidak dibangun diatas pondasi aqidah yang benar yaitu tauhid yang murni kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Sungguh Syaikh rahimahullah telah memberikan muqaddimah untuk Qawaidul ‘arba’ah ini dengan mukaddimah yang agung yang didalamnya terdapat do’a bagi pencari ilmu dan peringatan atas apa-apa yang akan mereka ucapkan. Ketika beliau rahimahullah berkata “Aku meminta kepada Allah yang Maha Mulia, Rabbnya ‘arsy yang agung untuk melindungimu di dunia dan akherat serta menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada, juga menjadikanmu termasuk orang yang jika diberi bersyukur, jika mendapat ujian bersabar, serta jika berdosa beristighfar, maka sesungguhnya tiga hal itu adalah tanda-tanda kebahagiaan.”. ini adalah mukaddimah yang agung. Padanya ada do’a dari Syaikh rahimahullah bagi setiappencari ilmu yang mempelajari aqidahnya dan menginginkan –dari hal tersebut- kebenaran, serta menjauhi kesesatan dan kesyirikan. Sesungguhnya dia pantas untuk mendapat pelindunga Allah subhanahu wa ta’ala di dunia dan akherat.
Jika Allah subhanahu wa ta’ala melindunginya didunia dan akherat maka tidak ada jalan bagi kejelekan untuk sampai kepadanya, tidak pada agamanya dan tidakpula pada dunianya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir pelindungnya adalah syaitan.” (Al Baqarah : 257)
Apabila allah subhanahu wa ta’ala melindungimu, (maka Dia) akan mengeluarkanmu dari kegelapan, yakni kegelapan syirik dan kkufuran, keragu-raguan, serta penyimpangan menuju cahaya iman dan ilmu yang bermanfaat, serta amalan shalih.
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada mempunyai pelindung.” (Muhammad : 11)
Jika Allah subhanahu wa ta’ala melindungimu dengan pemeliharaan, taufiq, serta petunjukNya didunia dan diakherat, maka kamu akan berbahagia dengan kebahagiaan yang tiada celaka selamanya. Didunia Dia akan menolongmu dengan hidayah taufiq, serta berjalan diatas manhaj yang selamat. Diakherat Dia akan menolongmu dengan memasukkanmu kedalam surga-Nya dan kekal di dalamnya, dimana tiada rasa takut, sakit, celaka dan tua serta ketidakenakan. Ini merupakan pertolongn Allah subhanahu wa ta’ala kepada hambaNya yang beriman didunia dan diakherat.
Berkata Syaikh rahimahullah : “dan menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada.”
Bila Allah subhanahu wa ta’ala menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada, maka ini adalah puncak yang dicari. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan barokah pada usia, rezeki, ilmu, amal, serta keturunanmu. Dimanapun kamu berada dan menghadap, barokah senantiasa menyertaimu, maka ini adalah kebaikan yang besar dan keutamaan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Bila Allah subhanahu wa ta’ala menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada, maka ini adalah puncak yang dicari. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan barokah pada usia, rezeki, ilmu, amal, serta keturunanmu. Dimanapun kamu berada dan menghadap, barokah senantiasa menyertaimu, maka ini adalah kebaikan yang besar dan keutamaan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Berkata Syaikh rahimahullah : “Dan menjadikanmu termasuk orang-orang yang jika diberi bersyukur”
Ini berbeda dengan orang yang jika diberi mengingkari nikmat dan menolaknya. Sesungguhnya, mayoritas manusia jika diberi nikmat mereka mengkufuri, mengingkari dan memalingkan pada selain ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla, sehingga hal itu menjadi sebab kesengsaraannya. Adapun orang yang bersyukur, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menambahnya :
Ini berbeda dengan orang yang jika diberi mengingkari nikmat dan menolaknya. Sesungguhnya, mayoritas manusia jika diberi nikmat mereka mengkufuri, mengingkari dan memalingkan pada selain ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla, sehingga hal itu menjadi sebab kesengsaraannya. Adapun orang yang bersyukur, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menambahnya :
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu menyatakan “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu.” (Ibrohim : 7)
Allah subhanahu wa ta’ala akan menambah keutamaan serta kebaikanNya kepada orang yang bersyukur, jika ingin bertambah kenikmatan, dan jika ingin hilang kenikmatanmu maka kufurilah.
Berkata Syaikh rahimahullah : “Dan jika mendapat ujian bersabar”
Allah subhanahu wa ta’ala menguji hambaNya, menguji mereka dengan musibah, tipu daya, serta dengan musuh-musuh dari golongan orang-orang kafir dan munafiqin. Mereka membutuhkan kesabaran, tidak putus asa serta tidak putus harapan dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka tetap diatas agamanya dan tidak menjauh bersama fitnah, atau menerima fitnah. Bahkan mereka tetap diatas agamanya dan bersabar atas apa yang dijalani dari kesusahan-kesusahan didalamnya. Berbeda dengan mereka yang diuji mengeluh dan marah-marah serta putus asa dari Rahmat Allah ‘azza wa jalla, maka orang yang demikian akan ditambah dengan cobaan demi cobaan, musibah demi musibah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
Allah subhanahu wa ta’ala menguji hambaNya, menguji mereka dengan musibah, tipu daya, serta dengan musuh-musuh dari golongan orang-orang kafir dan munafiqin. Mereka membutuhkan kesabaran, tidak putus asa serta tidak putus harapan dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka tetap diatas agamanya dan tidak menjauh bersama fitnah, atau menerima fitnah. Bahkan mereka tetap diatas agamanya dan bersabar atas apa yang dijalani dari kesusahan-kesusahan didalamnya. Berbeda dengan mereka yang diuji mengeluh dan marah-marah serta putus asa dari Rahmat Allah ‘azza wa jalla, maka orang yang demikian akan ditambah dengan cobaan demi cobaan, musibah demi musibah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
“sesungguhnya jika Allah subhanahu wa ta’ala mencintai suatu kaum, (maka Dia akan) menguji mereka. Barangsiapa yang ridha maka baginya keridhaan, dan barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan”. “Dan manusia yang paling besar ujiannya adalah para nabi, kemudian orang yang semisalnya, setelah itu orang yang semisalnya.”
Para Rasul, siddiqin, dan syuhada’ serta hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang mu’min diuji, akan tetapi mereka bersabar. Adapun orang-orang munafiq, sungguh Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan tentang mereka :
“Dan diantara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada ditepi” (Al Hajj : 11)
Yang dimaksud tepi artinya ujung.
“Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia kebelakang. Rugilah ia didunia dan diakherat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Al Hajj : 11)
Dunia itu tidak selamanya nikmat, mewah, lezat, bahagia dan mendapat pertolongan. Allah subhanahu wa ta’ala menggilirkannya diantara para hambaNya. Para sahabat –yang merupakan ummat yang paling mulia- apa yang terjadi pada mereka dari ujian dan cobaan? Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).” (Ali Imran : 140)
Maka, hendaknya seorang hamba menenangkan jiwanya. Jika dia diuji, sesungguhnya hal ini tidak khusus baginya. Wali-wali Allah subhanahu wa ta’ala telah mendahului dengan hal tersebut. Hendaknya ia tenangkan jiwanya dan bersabar, serta menunggu jalan keluar dari Allah subhanahu wa ta’ala, dan akhir yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.
Berkata Syaikh rahimahullah : “Dan jika berdosa meminta ampun”
Adapun orang yang jika berdosa tidak meminta ampun dan bertambah dosanya, maka celakalah dia –wal iyya’udzu billah-, akan tetapi seorang hamba yang beriman, setiap kali dia berbuat dosa maka dia akan segera bertaubat.
Adapun orang yang jika berdosa tidak meminta ampun dan bertambah dosanya, maka celakalah dia –wal iyya’udzu billah-, akan tetapi seorang hamba yang beriman, setiap kali dia berbuat dosa maka dia akan segera bertaubat.
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?” (Ali Imran : 135)
“Sesungguhnya taubat disisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera” (An Nisaa’ : 17)
Arti jahalah itu bukanlah orang yang tidak berilmu, karena orang yang jahil (bodoh) tidak disiksa. Akan tetapi jahalah disini adalah lawan dari hilm (santun). Maka setiap orang yang bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dia adalah jahil, artinya kurang santunnya, kurang akalnya, dan kurang kemanusiaannya. Kadang-kadang ada orang yang alim (berilmu) akan tetapi jahil (bodoh) disisi yang lain, yaitu tidak memiliki kesantunan dan tidak benar dalam perkara tersebut.
“Kemudian mereka bertaubat dengan segera” artinya, setiap kali berbuat dosa mereka minta ampun. Tidak ada seorangpun yang maksum (terjaga) dari dosa, akan tetapi –alhamdulillah- Allah subhanahu wa ta’ala membuka pintu taubat. Maka jika seorang hamba berdosa wajib baginya untuk segera bertaubat. Jika dia tidak bertaubat meminta ampun, mka ini adalah tanda-tanda kesengsaraan, bahkan kadang-kadang ada yang putus asa dari Rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, lalu setan mendatanginya dan berkata kepadanya “Tidak ada taubat bagimu”
Tiga perkara tersebut diatas yakni, jika diberi bersyukur, jika diuji bersabar dan jika berdosa meminta ampun merupakan tanda-tanda kebahagiaan. Barangsiapa yang mencocokinya dia akan mendapatkan kebahagiaan, dan barangsiapa yang terhalang darinya atau sebagiannya, maka dia akan sengsara (celaka).
Berkata Syaikh (Muhammad bin ‘Abdul Wahhab) rahimahullah :
Ketahuilah! Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membimbingmu untuk taat kepadaNya. Sesungguhnya al hanifiyyah millah ibrahim itu adalah kamu beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mengikhlaskan agama untukNya, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
Ketahuilah! Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membimbingmu untuk taat kepadaNya. Sesungguhnya al hanifiyyah millah ibrahim itu adalah kamu beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mengikhlaskan agama untukNya, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Adz Dzariyat : 56)
SYARAH :
“Ketahuilah! Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membimbingmu”. Ini adalah do’a dari syaikh rahimahullah, demikianlah hendaknya seorang pengajar itu mendo’akan murid-muridnya.
“Ketahuilah! Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membimbingmu”. Ini adalah do’a dari syaikh rahimahullah, demikianlah hendaknya seorang pengajar itu mendo’akan murid-muridnya.
Dan taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala itu artinya mengerjakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya.
“Sesungguhnya al hanifiyyah millah Ibrohim”
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi kita untuk mengikuti millah Ibrahim ‘alaihis salam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi kita untuk mengikuti millah Ibrahim ‘alaihis salam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif”. Dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (An Nahl : 23)
Al Hanifiyyah adalah agamanya al hanif yaitu Ibrahim ‘Alaihis salam. Sedangkan al hanif adalah menghadap kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan hatinya, amalan-amalannya, niat, serta tujuannya, semuanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala, dan berpaling dari yang selainNya. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk mengikuti millah Ibrahim ‘alahis salam
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.” (Al Hajj : 78)
Dan millahnya Ibahim adalah kamu beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala mengikhlaskan agama untukNya.
Ini adalah al Hanifiyyah. Syaikh rahimahullah tidak hanya berkata “Kamu beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala” saja, bahkan menyatakan, “Mengikhlaskan agama untukNya” yaitu jauhilah syirik, karena ibadah itu jika dicapuri kesyirikan, maka akan batal. Tidak akan menjadi ibadah, kecuali jika selamat dari syirik baik besar maupun kecil. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (Al Bayyinah : 5)
Hunafaa’ adalah bentuk jamak dari hanif yaitu ikhlas untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan seluruh mahluk dengan ibadah ini, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku” (Adz Dzariyat : 56)
Makna “menyembahku” adalah “mengesakanKu dalam ibadah”. Dan hikmah dari penciptaan mahluk adalah, bahwasanya mereka beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengikhlaskan agama untukNya. Diantara mereka ada yang mengerjakannya, dan adapula yang tidak mengerjakannya, akan tetapi hikmah dari penciptaan mereka adalah ini. Sehingga orang yang beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala adalah menyelisihi hikmah penciptaan mahluk, menyelisihi perintah dan syariat.
Ibrahim ‘alaihissalam adalah bapaknya para Nabi yang datang setelahnya, maka seluruh (para nabi) berasal dari keturunannya. Oleh sebab itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
“Dan Kami jadikan kenabian dan alKitab pada keturunannya.” (al ankabut : 27)
Mereka seluruhnya berasal dari bani Israel, anak cucu Ibrahim ‘alaihissalam, kecuali Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, beliau berasal dari keturunan Ismail ‘alaihissalam. Maka seluruh para Nabi berasal dari anak-anaknya Ibrahim’alaihissalam, sebagai penghormatan baginya dan Allah subhanahu wa ta’ala menjadikannya sebagai “Imam” bagi manusia yaitu “contoh” (bagi mereka). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
“sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia” (Al baqarah : 124), maknanya yaitu panutan.
“Sesungguhny Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan” (An Nahl : 120)
Yaitu imam yang diteladani, dengan hal itu pula allah subhanahu wa ta’ala perintahkan seluruh mahluk, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu” (Adz Dzariyat : 56)
Maka Ibrahim ‘alaihissalam mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana Nabi-Nabi selainnya. Seluruh Nabi mengejak manusia untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan) “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu” (An Nahl : 36)
Adapun syariat-syariat yang berupa perintah-perintah, larangan-larangan, halam dan haram, maka hal itu berbeda pada masing-masing ummat sesuai dengan berbedanya kebutuhan. Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan suatu syariat lalu menghapuskannya dengan syariat yang lain sampai datangnya syariat Islam. Kemudian syariat Islam itu menghapus seluruh syariat (sebelumnya), dan tetaplah syariat Islam itu sampai hari kiamat.
Sedangkan inti agamanya para nabi yakni tauhid, maka ini belum dihapus dan tidak akan dihapus. Agama mereka satu yaitu agama Islam dengan makna “Ikhlas untuk Allah dengan Tauhid”. Adapun Syariat-syariat (lain) yang berbeda-beda dihapus, akan tetapi tauhid dan aqidah dari Adam ‘alaihissalam sampai Nabi yang terakhir, semuanya mengajak kepada tauhid dan beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah mentaatiNya pada setiap waktu dengan perkara yang diperintahkan dari syariat-syariat. Maka beramal dengan syariat yang menghapus adalah ibadah dan beramal dengan syariat yang telah dihapus bukanlah termasuk ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Berkata Syaikh (Muhammad bin Abdul wahhab) rahimahullah :
“Maka, jika kamu sudah mengetahui bahwa allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk beribadah kepadaNya, ketahuilah! Sesungguhnya ibadah itu tidak dinamakan ibadah, kecuali dengan tauhid”
“Maka, jika kamu sudah mengetahui bahwa allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk beribadah kepadaNya, ketahuilah! Sesungguhnya ibadah itu tidak dinamakan ibadah, kecuali dengan tauhid”
SYARAH :
“(Maka jika kamu sudah mengetahui bahwa allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk beribadah kepadaNya)”
Yaitu jika kamu mengetahui dari ayat ini :
“(Maka jika kamu sudah mengetahui bahwa allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk beribadah kepadaNya)”
Yaitu jika kamu mengetahui dari ayat ini :
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu” (Adz Dzariyat : 56)
Maka kamu termasuk manusia yang ada dalam ayat ini. Kamu mengetahui pula bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah menciptakanmu dengan sia-sia atau untuk menciptakanmu untuk makan dan minum saja, serta hidup didunia bebas dan gembira, tidaklah demikian. Akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk beribadah kepadaNya, hanya saja ditundukkan bagimu yang ada ini untuk membantumu dalam beribadah kepadaNya, karena engkau tidak akan mampu hidup kecuali dengannya. Kamu tidak akan sampai untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala kecuali dengan hal-hal tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala menundukkannya bagimu agar engkau dapat beribadah kepadaNya, bukan agar kamu bergembira, bersukaria, bebas berbuat fasik dan cabul, serta makan dan minum sesukamu, karena ini adalah keadaan binatang. Adapun manusia, Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan mereka dengan tujuan yang besar dan hikmah yang agung, yaitu ibadah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezaki sedikitpun dari mereka.” (Adz Dzariyat : 56-57)
Allah subhanahu wa ta’ala tidak menciptakanmu agar kamu mencari rezeki untuk-Nya, bekerja dan mengumpulkan harta untuk-Nya sebagaimana dikerjakan oleh sebagian manusia dengan sebagian lainnya, yang menjadikan pekerja untuk mengumpulkan kekayaan bagi mereka. Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala tidak butuh dengan itu, dan tidak membutuhkan alam semesta ini. Oleh karena itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan” (Adz Dzariyat : 57)
Allah subhanahu wa ta’ala memberi makan dan tidak diberi makan, serta tidak butuh pada makanan. Ketidak butuhan Allah subhanahu wa ta’ala itu (sesuai) sesuai dengan Dzat-Nya. Tidaklah dia membutuhkan ibadahmu. Seandainya kamu kufur, tidak akan berkurang kerajaan Allah subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi kamulah yang butuh kepadaNya, yaitu butuh untuk beribadah kepada-Nya. Dan termasuk Rahmat-Nya adalah Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkanmu untuk beribadah kepadaNya demi kebaikanmu. Karena jika kamu mengibadahi-Nya, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala akan memuliakanmu dengan balasan dan pahala. Dengan sebab itulah engkau dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dunia dan akherat. Maka siapakah yang mendapat faedah dari ibadah? Yang mendapat faedah dari ibadah adalah hamba sendiri. Adapun Allah subhanahu wa ta’ala, sesungguhnya Dia tidak butuh kepada mahluk-Nya.
Berkata syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab) rahimahullah :
“Maka, ketahuilah! Sesungguhnya ibadah itu tidak dinamakan ibadah, kecuali dengan tauhid, sebagaimana shalat itu tidak dinamakan shalat kecuali bersama thaharah (bersuci).”
SYARAH :
Jika kamu telah mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya, maka sesungguhnya ibadah itu tidak menjadi benar dan diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala kecuali jika terpenuhi dua syarat di dalamnya. Apabila salah satu dari dua syarat tersebut tidak ada, maka batallah ibadahnya.
Syarat pertama : Menjadikan amalan tersebut ikhlas untuk wajah Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga tidak ada kesyirikan didalamnya. Jika dicampur dengan kesyirikan, maka batallah (amalan tersebut), sebagaimana halnya bersuci jika dicampur dengan hadats, maka akan batal. Demikian pula jika kamu beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala kemudian menyekutukanNya, maka batallah ibadahmu.
Syarat kedua : Mengikuti Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Ibadah apapun yang tidak datang dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam maka ibadah tersebut batal dan tertolak, karena termasuk bid’ah dan khurafat. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallah bersabda :
Jika kamu telah mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya, maka sesungguhnya ibadah itu tidak menjadi benar dan diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala kecuali jika terpenuhi dua syarat di dalamnya. Apabila salah satu dari dua syarat tersebut tidak ada, maka batallah ibadahnya.
Syarat pertama : Menjadikan amalan tersebut ikhlas untuk wajah Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga tidak ada kesyirikan didalamnya. Jika dicampur dengan kesyirikan, maka batallah (amalan tersebut), sebagaimana halnya bersuci jika dicampur dengan hadats, maka akan batal. Demikian pula jika kamu beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala kemudian menyekutukanNya, maka batallah ibadahmu.
Syarat kedua : Mengikuti Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Ibadah apapun yang tidak datang dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam maka ibadah tersebut batal dan tertolak, karena termasuk bid’ah dan khurafat. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallah bersabda :
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah kami makaperbuatan itu tertolak”
Dalam riwayat yang lain disebutkan :
“Barangsiapa yang membuat hal yang baru dalam urusan (agama) kami, maka perbuatan itu tertolak”
Maka ibadah itu harus sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan bukan dengan istihsanat (anggapan baik) manusia, niat, serta tujuan mereka. Selama ibadah tersebut tidak ada dalilnya dari syariat, maka hal itu adalah bid’ah dan tidak bermanfaat bagi pelakunya bahkan membahayakannya, karena merupakan kemaksiatan meskipun dia beranggapan dengan hal itu akan mendekatkan dirinya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam ibadah harus ada dua syarat ini, yakni ikhlas dan mengikuti Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Sehingga jadilah ibadah tersebut benar dan bermanfaat bagi pelakunya. Jika kesyirikan masuk kedalamnya, maka batallah ibadah tersebut, dan jika ibadah itu telah menjadi bid’ah dimana tidak ada dalil atasnya, maka menjadi batal pila. Tanpa dua syarat ini, tidak ada faedahnya suatu ibadah, karena ibadah itu tidak diatas apa yang disyariatkan Allah subhanahu wa ta’ala. Dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima, kecuali apa yang disyariatkan dalam kitab-Nya atau atas lisan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam.
Tidak ada seorangpun dari mahluk Allah subhanahu wa ta’ala yang wajib kita ikuti kecuali rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Adapun selain Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam maka dia diikuti dan ditaati jika mengikuti beliau shallallahu’alaihi wa sallam. Jika menyelisihi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka tidak ada ketaatan kepadanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Ta’atilah Allah dan taatilah rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” (An Nisaa’ : 59)
Ulil amri adalah para pemimpin dan para ulama. Jika mereka mentaati Allah subhanahu wa ta’ala maka wajib bagi kita mentaati dan mengikuti mereka. Adapun jika mereka menyelisihi perintah Allah subhanahu wa ta’ala, maka tidak boleh mentaati dan mengikuti penyimpangan mereka. Karena tidak ada seorangpun yang boleh ditaati secara mutlak dari mahluk yang ada ini kecuali Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dan yang selain Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka dia diikuti dan ditaati jika mentaati beliau shallallahu’alaihi wa sallam. Inilah ibadah yang benar.
Berkata Syaikh (Muhammad bin abdil wahhab) rahimahullah :
“Jika kamu mengetahui bahwa syirik bila bercampur dengan ibadah akan merusaknya dan menghapus amalan, sehingga pelakunya termasuk orang yang kekal dalam neraka. Tahukah engkau bahwa yang paling penting bagimu adalah mengetahui hal tersebut. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala membebaskanmu dari perangkap ini, yaitu syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan tentangnya.
“Jika kamu mengetahui bahwa syirik bila bercampur dengan ibadah akan merusaknya dan menghapus amalan, sehingga pelakunya termasuk orang yang kekal dalam neraka. Tahukah engkau bahwa yang paling penting bagimu adalah mengetahui hal tersebut. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala membebaskanmu dari perangkap ini, yaitu syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan tentangnya.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (an nisaa’ : 48)
Dan hal itu dengan mengetahui empat kaidah yang disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam kitab-Nya”
SYARAH :
Selama engkau mengenal tauhid yaitu mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam ibadah, maka wajib bagimu untuk mengetahui apa itu syirik. Karena seseorang yang tidak mengetahui suatu perkara, dia akan terjatuh padanya. Maka sudah seharusnya engkau mengetahui maca-macam kesyirikan dengan tujuan untuk menjauhinya, karena Allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan hal itu dalam firman-Nya
Selama engkau mengenal tauhid yaitu mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam ibadah, maka wajib bagimu untuk mengetahui apa itu syirik. Karena seseorang yang tidak mengetahui suatu perkara, dia akan terjatuh padanya. Maka sudah seharusnya engkau mengetahui maca-macam kesyirikan dengan tujuan untuk menjauhinya, karena Allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan hal itu dalam firman-Nya
“Sesungguhnya Allah tidak akanmengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain (dari syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (An Nisaa’ : 48)
Adapun bahaya kesyirikan tersebut adalah diharamkan bagi pelakunya untuk memasuki surga
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga.” (Al Maidah : 72)
Diharamkan pula dia dari ampunan
“sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syrik.” (An Nisaa’ : 48)
Jika demikian halnya, maka hal ini adalah bahaya yang besar, yang wajib engkau ketahui sebelum bahaya lainnya. Karena syirik itu pila, telah sesat berbagai pemahaman dan akal-akal, sehingga kita perlu mengetahui apa itu syirik dari Al qur’an dan As Sunnah. Tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan kita dari sesuatu kecuali Dia menerangkannya, dan tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan sesuatu kecuali menjelaskannya kepada manusia. Maka Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan mengharamkan syirik dan meninggalkannya secara global, akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskannya dalam Al Qur’an yang mulia dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga menerangkannya dalam As Sunnah dengan keterangan yang lengkap. Apabila ingin mengetahui apa itu syirik, hendaknya kita kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah sampai kita tahu syirik tersebut dan bukan kembali pada ucapannya si fulan (seseorang), akan datang (penjelasan) tentang ini.
Tags:
Aqidah